Rabu, 10 November 2010

Menggapai Ketenangan Hati dengan Mengingat Allah (1)

Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.

Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir jaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan.”[2]

Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.

Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (Qs. al-An’am: 112).

Bahkan, setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. Faathir:8).

Sumber ketenangan dan penghilang kesusahan yang hakiki


Setiap orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib meyakini, bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’du: 28).

Artinya dengan berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].

Bahkan, tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [4].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.”[5]

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah U merahmatinya –, “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.”[6]

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala [7].

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang di hadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah U, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaaq: 2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[8]

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4).

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya).[9]

Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena, semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka.”[11]

Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Sungguh, Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali ‘Imraan: 164).

Makna firman-Nya “menyucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala).[12]

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yuunus: 57).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“[13]

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “I’laamul muwaqqi’iin” (4/118).
[2] Dinukil oleh Imam asy-Syaathibi dalam kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq Syaikh Salim al-Hilali).

[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).

[4] Ibid.

[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).

[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).

[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).

[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).

[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).

[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[11] HSR. Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45).

[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).

[13] HSR. al-Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).

Sumber : http://muslim.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar